TANGERANG - Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengukuran Kinerja, kami melakukan Focus Group Discussion (FGD) mengenai “Tata Kelola Perusahaan dan Kinerja: Pembelajaran dari Kasus Korupsi PERTAMINA di Indonesia dan Global” FGD ini dilakukan oleh Mahasiswa Sarjana Akuntansi Universitas Pamulang yaitu, Divia Nuri Dinda, Frida Kusuma Hanifah, Putri Noviyanti Rahmadani, Rafifah Deska Amanda dan Muhamad Taufik.
Sebagai mahasiswa, penting bagi kami untuk tidak hanya memahami teori pengukuran kinerja secara konseptual, tetapi juga mampu mengaitkannya dengan realitas yang terjadi dalam praktik korporasi dan kebijakan publik.
Melalui diskusi ini, kami berharap dapat memberikan kontribusi pemikiran yang bersifat membangun terhadap upaya perbaikan sistem evaluasi kinerja di lingkungan BUMN Indonesia.
Tata kelola perusahaan yang baik merupakan salah satu aspek penting dalam memastikan keberlanjutan dan integritas sebuah organisasi. Namun, kenyataannya seringkali menunjukkan bahwa lemahnya tata kelola dapat menimbulkan berbagai masalah serius, termasuk praktik korupsi.
Salah satu contoh yang mencolok adalah kasus korupsi yang terjadi di Pertamina, yang merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Kasus ini tidak hanya mencerminkan kegagalan dalam pengelolaan perusahaan, tetapi juga membuka mata kita mengenai pentingnya integrasi tata kelola yang baik dalam sistem evaluasi kinerja perusahaan.
Dalam opini ini, kami akan mengulas bagaimana kasus Pertamina memberikan pelajaran berharga terkait evaluasi kinerja perusahaan, terutama dalam konteks Good Corporate Governance (GCG).
Kasus korupsi di PT Pertamina (Persero) menjadi contoh nyata dari dampak buruk lemahnya tata kelola perusahaan. Dikutip dari KOMPAS, pada awal tahun 2025, Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa praktik manipulasi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang selama periode 2018–2023 telah menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun pada tahun 2023 saja.
Modus operandi yang terungkap mencakup impor minyak mentah dan bahan bakar yang tidak sesuai dengan kebutuhan domestik, serta pengoplosan bahan bakar dengan kualitas yang lebih rendah namun dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Kasus ini menyoroti lemahnya sistem tata kelola perusahaan dan evaluasi kinerja di BUMN Indonesia, serta pentingnya integrasi aspek Good Corporate Governance (GCG) dalam penilaian kinerja perusahaan.
Kasus korupsi di Pertamina, yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp193,7 triliun pada tahun 2023, mencerminkan kegagalan sistemik dalam tata kelola perusahaan dan evaluasi kinerja di BUMN Indonesia.
Praktik manipulasi impor minyak dan pengoplosan BBM menunjukkan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.
Evaluasi kinerja yang hanya berfokus pada indikator keuangan tanpa mempertimbangkan aspek tata kelola dan integritas memungkinkan praktik korupsi berkembang. Reformasi menyeluruh dalam sistem evaluasi kinerja BUMN, termasuk integrasi indikator tata kelola dan transparansi, menjadi urgensi untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Di tingkat global, evaluasi kinerja perusahaan semakin menekankan aspek Good Corporate Governance (GCG). Misalnya, menilai perusahaan berdasarkan kepuasan karyawan, kinerja keuangan, dan transparansi keberlanjutan.
Kasus Pertamina menunjukkan bahwa perusahaan yang mengabaikan aspek GCG, khususnya tata kelola, berisiko mengalami kerugian besar dan kehilangan kepercayaan publik. Integrasi indikator GCG dalam evaluasi kinerja menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan dan integritas perusahaan.
Skandal korupsi di Pertamina tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga merusak reputasi perusahaan. Evaluasi kinerja yang tidak mencakup aspek etika dan integritas memungkinkan praktik korupsi terjadi.
Di tingkat global, perusahaan mulai mengintegrasikan indikator etika dan tata kelola dalam evaluasi kinerja untuk menjaga reputasi dan keberlanjutan bisnis.
Pertamina perlu mereformasi sistem evaluasi kinerjanya dengan memasukkan aspek-aspek tersebut untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan kinerja yang berkelanjutan.
Selain itu, kasus ini menunjukkan bahwa evaluasi kinerja yang tidak komprehensif dapat menyebabkan kegagalan dalam tata kelola perusahaan. Evaluasi yang hanya berfokus pada target keuangan tanpa mempertimbangkan tata kelola dan integritas membuka celah bagi praktik korupsi.
Di tingkat global, perusahaan mulai mengadopsi evaluasi kinerja yang mencakup aspek GCG untuk memastikan keberlanjutan dan integritas. Pertamina dan BUMN lainnya perlu mengadopsi pendekatan serupa untuk meningkatkan tata kelola dan kinerja perusahaan.
Berdasarkan hasil FGD yang telah dilakukan, kami menyimpulkan bahwa kasus korupsi di Pertamina menyoroti pentingnya integrasi aspek tata kelola dalam evaluasi kinerja perusahaan.
Evaluasi yang tidak mencakup aspek tata kelola dan integritas memungkinkan praktik korupsi berkembang. Di tingkat global, perusahaan mulai mengintegrasikan indikator GCG dalam evaluasi kinerja untuk memastikan keberlanjutan dan integritas.
Pertamina perlu mereformasi sistem evaluasi kinerjanya dengan memasukkan aspek-aspek tersebut untuk mencegah kejadian serupa di masa depan dan memastikan kinerja yang berkelanjutan. (*)