TANGERANG - Kekhawatiran publik muncul akibat kelangkaan mendadak LPG bersubsidi 3 kg. Tabung gas kecil ini sangat penting bagi masyarakat berpenghasilan rendah, namun kini pasokannya semakin langka dan harganya melonjak.
Pemerintah memang sering memberikan subsidi energi sebagai bentuk jaring pengaman sosial. Namun, efektivitas dan akuntabilitas kebijakan ini kini sedang dipertanyakan. Apakah subsidi ini benar-benar memiliki sasaran yang jelas? Sejauh mana pemerintah menjalankan tanggung jawabnya kepada rakyat?
Opini ini merupakan hasil pemikiran penulis yang dikembangkan melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama sejumlah rekan mahasiswa.
Ketertarikan penulis didasari oleh keingintahuan terhadap kinerja pemerintah dalam menyalurkan subsidi gas LPG kepada masyarakat secara tepat sasaran. Opini ini disusun oleh mahasiswa Universitas Pamulang Program Studi Sarjana Akuntansi yang beranggotakan Dinda Manja Adeliani, Firna Fauziah Ariswan, Idelia Putri Artanti, Rizka Amanda dan Siti Indah Kurnia Sari. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah kami yaitu Pengukuran Kinerja.
Untuk menjawab persoalan ini, kami menggunakan pendekatan Balanced Scorecard (BSC) sebagai alat ukur kinerja yang menyeluruh. BSC sendiri memiliki arti sebuah kerangka kerja manajemen strategis yang digunakan oleh organisasi untuk mengukur dan mengelola kinerja mereka secara komprehensif.
Untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau lembaga publik diukur dari empat perspektif utama: proses internal, pembelajaran dan pertumbuhan, pelanggan, serta keuangan.
Dari perspektif keuangan, berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, pemerintah telah menetapkan kuota LPG 3 kilogram sebanyak 8,17 juta metrik ton. Angka tersebut naik sekitar 140 ribu ton dibandingkan dengan tahun lalu. Pada 2024, pemerintah menetapkan kuota gas subsidi sebanyak 8,03 juta ton. Namun, pada Desember 2024, Kementerian Energi menambah kuota sebesar 200 ribu metrik ton.
Pemerintah telah menyediakan gas LPG 3 kilogram lebih dari 8 juta metrik ton setiap tahunnya. Kuota gas LPG 3 kilogram pada tahun ini menjadi yang tertinggi sejak 2018.
Penambahan kuota gas LPG 3 kilogram membuat anggaran subsidi membengkak. Pada 2025, pemerintah telah menetapkan plafon subsidi gas 3 kilogram sebesar Rp 87,6 triliun.
Pada tahun lalu, Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi subsidi LPG 3 kilogram mencapai Rp 80,21 triliun, yang membuat nilai itu menjadi subsidi energi terbesar yang dibelanjakan pemerintah.
Dari perspektif pelanggan, kelangkaan ini jelas menandakan menurunnya kepuasan masyarakat terhadap layanan pemerintah.
Mulai Sabtu, 1 Februari 2025, penjualan gas LPG bersubsidi ukuran 3 kilogram tidak lagi diperbolehkan melalui pengecer. Kini, masyarakat hanya bisa membeli gas tersebut di pangkalan resmi Pertamina dengan harga eceran tertinggi (HET) yang sudah ditetapkan.
Menurut laporan tempo.co, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menyampaikan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan gas melon bagi masyarakat dan memastikan harga jual tetap sesuai aturan. "Pengecer kami ubah menjadi pangkalan mulai 1 Februari,"ujar Yuliot saat ditemui di kantornya pada Jumat, 31 Januari 2025.
Penerapan kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki ketepatan sasaran distribusi LPG 3 kg dan memastikan harga yang diterima masyarakat sesuai ketentuan pemerintah.
Banyak warga tidak bisa mendapatkan LPG bersubsidi akibat kebocoran distribusi ke pihak yang tidak berhak. Menurut Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), sekitar 25% LPG 3 kg disalahgunakan oleh konsumen non-rumah tangga, termasuk pelaku usaha kecil yang sebenarnya tidak berhak menerima subsidi.
Di beberapa wilayah, harga LPG 3 kg bahkan melonjak hingga Rp25.000 per tabung akibat distribusi yang tidak terkendali. Dari perspektif pelanggan, kondisi ini mencerminkan pelayanan publik yang kurang memadai.
Distribusi LPG bersubsidi juga memiliki kelemahan serius dalam proses internal. Rantai pasokan dari SPBE (Stasiun Pengisian Bulk Elpiji) ke pengecer akhir tidak berjalan dengan tertib dan transparan. Lemahnya pengawasan, buruknya pencatatan, serta ketiadaan sistem data terintegrasi mengakibatkan inefisiensi dan rentan terhadap penyelewengan.
Kinerja internal ini mendesak untuk diperbaiki melalui digitalisasi dan sistem pemantauan berbasis teknologi.
Dari sisi pembelajaran dan pertumbuhan, pemerintah sebenarnya telah mulai mendorong penggunaan data NIK dan integrasi dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk menargetkan subsidi secara lebih tepat. Namun, pelaksanaannya masih terbatas dan belum disertai dengan edukasi publik yang cukup maupun peningkatan kapasitas SDM.
Tanpa adanya pembelajaran organisasi yang berkelanjutan dan inovasi yang signifikan, masalah ini berpotensi terus berulang.
Kesimpulannya, melalui pendekatan Balanced Scorecard, terlihat jelas bahwa kinerja pemerintah dalam mengelola subsidi LPG 3 kg masih jauh dari ideal di keempat perspektif penilaian.
Kelangkaan produk hanyalah salah satu sisi permasalahan ini; sisi lainnya adalah bagaimana negara menjalankan program berbasis pajak secara terukur dan bertanggung jawab. Jika tidak didukung oleh kinerja yang solid, program subsidi justru dapat menjadi beban fiskal tanpa manfaat besar bagi masyarakat luas.
Maka, sangat penting bagi pemerintah menjadikan kelangkaan ini sebagai momentum evaluasi menyeluruh demi perbaikan sistem jangka panjang. (*)