TANGERANG - Melemahnya nilai rupiah di awal tahun 2025, yang sempat menyentuh level terendah dalam tiga tahun terakhir, telah memicu kekhawatiran mengenai stabilitas ekonomi nasional, terutama dalam menghadapi defisit APBN yang membengkak di Q1.
Menurut laporan kementerian keuangan, defisit APBN untuk Q1 2025 mencapai 2,53% dari PDB yang lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, disebabkan oleh lambatnya penerimaan pajak dan tingginya belanja subsidi energi.
Namun, ditengah tekanan global, pemerintah menunjukkan kemampuan manajemen fiskal yang lebih adaptif, termasuk penguatan insentif investasi, efisiensi belanja, serta koordinasi kebijakan moneter-fiskal yang lebih ketat.
Terkait pembahasan sebelumnya, Kami Afifah Febriani Susanto, Anisa Nurhalimah, Oktafiani Murpytasari, Prameswari Nurrachmawati, dan Rosdiana, dari Mahasiswa Universitas Pamulang Fakultas Ekonomi dan Bisnis program studi Sarjana Akuntansi, terdorong untuk melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengukuran Kinerja, mendalami tantangan masalah ekonomi Indonesia pada awal 2025 terutama terkait anjloknya nilai rupiah dan upaya stabilisasi ekonomi.
Diskusi ini difokuskan pada penyebab dan solusi atas defisit APBN, dengan mengadopsi pendekatan Theory of Constraints (TOC) untuk mengidentifikasi tentang penurunan penerimaan pajak sebagai hambatan utama dan merumuskan strategi stabilisasi ekonomi.
Ekonomi Indonesia di awal tahun 2025 menghadapi tantangan serius, khususnya terkait pelemahan nilai tukar rupiah dan defisit APBN yang tercatat sebesar Rp31,2 triliun per Februari 2025 (CNN Indonesia, 2025).
Berdasarkan laporan dari berbagai sumber media daring seperti CNN Indonesia, Detik.com, dan Tempo.co yang menggambarkan kondisi fiskal dan pasar keuangan nasional yang berada di bawah tekanan signifikan.
Permasalahan ini dianalisis menggunakan lensa Theory of Constraints (TOC) untuk merumuskan solusi yang relevan, sembari belajar menerapkan konsep pengukuran kinerja dalam konteks nyata.
Berdasarkan laporan CNN Indonesia pada Senin 7 April 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika mencapai Rp17.000 disertai penurunan IHSG lebih dari 7% di saat bersamaan.
Terdapat perbedaan pandangan tentang penyebab utama: sebagian menyebut sentimen global, sementara yang lainnya menyoroti penurunan penerimaan pajak, Tempo.co melaporkan bahwa penurunan penerimaan pajak sebesar 41,86%, pada kuartal pertama 2025 sebagai pemicu utama ketidakstabilan, ada juga yang berpendapat bahwa negara membayar hutang di saat nilai dolar sedang naik.
Dengan menerapkan TOC, penurunan penerimaan pajak diidentifikasi sebagai hambatan utama dalam pengelolaan APBN, menjadi titik awal untuk merumuskan solusi.
Penerapan TOC memberikan fokus yang lebih tajam dalam menyusun kebijakan ekonomi, memprioritaskan perbaikan menghambat sistem seperti ketidakefisienan belanja negara, ketergantungan pada utang atau lambatnya pertumbuhan penerimaan pajak.
Dengan menerapkan prinsip TOC identifikasi constraint, eksploitasi, subordinasi, peningkatan, dan pengulangan siklus, pemerintah dapat menangani titik kritis yang paling mempengaruhi stabilitas fiskal. TOC mengarahkan analisis bahwa hambatan utama (constraint) dalam pengelolaan APBN Q1 2025 adalah penurunan penerimaan pajak.
Dengan mengidentifikasi constraint ini, strategi selanjutnya diarahkan untuk mengoptimalkan potensi penerimaan, seperti melalui percepatan digitalisasi perpajakan dan perluasan basis pajak.
Meskipun pemberitaan menyebutkan bahwa sistem coretax bisa dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak, tapi faktanya sampai saat ini coretax masih mengalami kendala dan banyaknya penipuan mengatasnamakan coretax.
Informasi dari berita Tempo.co mengenai efisiensi anggaran pemerintah menunjukkan bahwa telah dilakukan pemangkasan anggaran sebesar Rp306,69 triliun melalui implementasi kebijakan baru, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai sumber media.
Penerapan TOC dapat memastikan pemangkasan ini fokus pada belanja yang kurang produktif, seperti rapat atau perjalanan dinas, sembari memastikan alokasi untuk infrastruktur dan pendidikan. Meskipun pemangkasan anggaran dilakukan, penting untuk memastikan efisiensinya terukur secara kinerja, bukan sekadar pemotongan nominal.
Oleh karena itu, integrasi indikator seperti IKPA harus disertai transparansi pelaporan dan audit berkala. Kekhawatiran muncul terkait pembayaran utang, mengingat Metro TV melaporkan pembiayaan utang sudah menyentuh angka Rp347,6 triliun pada akhir 2024. Sebagai solusi, penggunaan sukuk bunga negara untuk proyek strategis seperti energi terbarukan dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan dibandingkan utang konvensional.
Transparansi APBN juga dianggap krusial, karena keterlambatan laporan APBN dapat memicu keraguan investor. Penerapan TOC memberikan struktur yang jelas dalam memahami masalah defisit APBN.
Dengan fokus pada penerimaan pajak sebagai hambatan utama, langkah seperti digitalisasi perpajakan, efisiensi belanja, dan pembiayaan kreatif bisa mengurangi defisit dan mendukung penguatan rupiah di Indonesia.
Pendekatan TOC bukan hanya analisis teknis, tetapi juga dapat menjadi dasar penyusunan kebijakan fiskal yang fokus dan tepat sasaran.
Pemerintah diharapkan mempertimbangkan pendekatan serupa untuk merumuskan strategi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan dan berbasis pada kinerja riil, bukan sekedar asumsi semata. (*)