TANGERANG - Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Pengukuran Kinerja dengan fokus pembahasan “Proses Evaluasi Kinerja dan Hambatan dalam Evaluasi Kinerja”. Kami mahasiswa Sarjana Akuntansi Universitas Pamulang melakukan Focus Group Discussion (FGD) yaitu Amadeo Muhammad Ismudiaz, Maulana Ghoffaar, Nurjannah, Sela Pitiyana H, dan Siti Asiyah N, untuk membahas sebuah isu terkini yang berhubungan langsung dengan materi perkuliahan.
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk menerapkan teori evaluasi kinerja yang kami pelajari dalam kelas ke situasi nyata yang sedang terjadi, terutama yang berhubungan langsung dengan kebijakan pemerintah. Karena itu, kami memilih untuk membahas isu mengenai kenaikan tarif impor yang dilakukan oleh Amerika Serikat terhadap produk-produk ekspor dari Indonesia.
Isu ini bermula dari kebijakan perdagangan yang diumumkan oleh pemerintah Amerika Serikat pada awal tahun 2025 yang pada awalnya ditujukan untuk menekan dominasi ekonomi Tiongkok, pada akhirnya turut menyeret negara-negara lain dalam pusaran ketidakpastian ekonomi global.
Pemerintah Indonesia, yang memiliki ketergantungan cukup signifikan pada ekspor ke AS, menghadapi dilema antara menjaga hubungan diplomatik dan melindungi kepentingan industri dalam negeri.
Dalam kebijakan tersebut, AS secara resmi menaikkan tarif impor terhadap sejumlah produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Produk-produk yang terdampak antara lain karet alam, tekstil, alas kaki, furnitur, dan beberapa komoditas unggulan lainnya.
Langkah ini diambil oleh AS sebagai bagian dari strategi mereka untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Pemerintah AS beralasan bahwa beberapa produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dianggap telah merugikan produsen lokal mereka karena masuk dengan harga yang terlalu murah.
Hal ini menjadi bagian dari kebijakan proteksionis yang sedang digencarkan oleh pemerintah AS, terutama menjelang pemilihan umum di negara tersebut.
Akibatnya, Indonesia sebagai negara pengekspor terkena imbas cukup besar. Banyak pelaku usaha yang mengandalkan ekspor ke AS menjadi khawatir akan kehilangan pasar, yang bisa berdampak pada penurunan pendapatan, pengurangan tenaga kerja, dan gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Kami membaca berbagai berita dari media nasional seperti Kompas, CNN Indonesia, dan Reuters untuk mengetahui apa saja yang sudah dilakukan pemerintah. Dari hasil penelusuran kami, kami menyimpulkan bahwa pemerintah Indonesia memang sudah memberikan tanggapan.
Pada awalnya, pemerintah menyampaikan bahwa mereka akan fokus pada diplomasi dan negosiasi agar hubungan dagang dengan Amerika tetap berjalan baik. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri menyampaikan bahwa mereka akan mencari solusi terbaik melalui dialog bilateral dan menjaga stabilitas ekspor.
Terkait tarif yang dikenakan Amerika Serikat kepada Indonesia, Kementerian Perdagangan memberikan penjelasan. Tarif dasar baru, atau baseline tarif, meningkat 10% dari tarif dasar sebelumnya, kata Djatkomiko (Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag). Tarif ini berlaku untuk Mexico dan Kanada yang akan diterapkan pada 5 April 2025. Tarif resiprokal sebesar 32% dikenakan untuk Indonesia, namun tarif ini masih ditangguhkan selama 90 hari.
Setelah adanya pengumuman terkait negosiasi, tarif impor justru meningkat menjadi 47% untuk beberapa produk. Dalam pernyataan yang disampaikan oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri dan Menteri Perdagangan, pemerintah menegaskan akan mempercepat proses diplomasi.
Selain itu, pemerintah juga menyampaikan kemungkinan akan membawa isu ini ke forum internasional seperti WTO jika perlu. Pemerintah juga menyatakan akan memberikan dukungan tambahan untuk pelaku usaha yang terkena dampak, agar tetap bisa bertahan.
Dari informasi yang kami peroleh, meskipun pemerintah telah memberikan tanggapan terhadap kebijakan tarif impor tersebut, sayangnya belum ada laporan atau evaluasi terbuka yang bisa menunjukkan apakah upaya tersebut membuahkan hasil. Tidak ada data atau indikator publik yang menjelaskan pencapaian dari diplomasi yang dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Evaluasi terhadap langkah pemerintah cenderung dilakukan secara internal dan tertutup, sehingga masyarakat umum dan pelaku usaha sulit mengetahui apakah kebijakan tersebut benar-benar berdampak positif atau tidak.
Selain itu, kami juga melihat adanya beberapa kendala dalam pelaksanaan evaluasi, seperti kurangnya pelibatan dari pihak-pihak terdampak, keterbatasan informasi publik, serta kemungkinan adanya pengaruh politik dalam proses penilaian. Padahal, proses evaluasi yang ideal seharusnya dilakukan secara terbuka, objektif, dan berdasarkan data agar bisa dijadikan dasar untuk perbaikan ke depan.
Hal ini penting agar Pemerintah dapat terus mengembangkan strategi yang relevan dan masyarakat bisa ikut terlibat dalam pengawasan terhadap kebijakan publik yang sedang berjalan.
Sebagai penutup, kami menyimpulkan bahwa evaluasi kinerja bukan hanya tentang melihat hasil dari kebijakan yang telah dijalankan, tetapi juga menilai sejauh mana proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan, terbuka, dan melibatkan pihak-pihak yang terdampak.
Dalam kasus kenaikan tarif impor AS, pemerintah memang telah memberikan respons, namun belum ada kejelasan mengenai bagaimana keberhasilan langkah tersebut diukur.
Karena itu, kami menilai bahwa penting bagi pemerintah untuk memperkuat sistem evaluasi yang tidak hanya dilakukan secara internal, tetapi juga bisa diawasi dan dinilai oleh publik.
Evaluasi yang baik akan mendukung terciptanya kebijakan yang lebih adaptif, akuntabel, dan mampu menjawab tantangan global secara tepat. (*)