Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Asal Usul Sejarah Kecamatan Sepatan, Asal Mula Nama Sepatan

Senin, Februari 26, 2018 | 19:47 WIB Last Updated 2022-01-03T17:34:29Z
bahasa SEPATAN berasal dari bahasa sangsakerta SUPATA yang artinya adalah berjanji atau berucap

Oleh: Mohamad Ikbal 

Secara bahasa SEPATAN berasal dari bahasa sangsakerta SUPATA yang artinya adalah berjanji atau berucap. Sedangkan nama Sepatan untuk nama Kecamatan Sepatan sendiri berasal dari kata Sipatan yang berarti batas atau pembatas yaitu sebuah alat yang sering dipergunakan oleh tukang – tukang bangunan atau kayu untuk menggaris atau membuat tanda pada bangunan atau kayu.

Sementara itu menurut cerita tutur tinular dari orang tua jaman dahulu, Sepatan atau Sipatan merupakan “Pembatas Ghoib” yang dibuat oleh orang tua jaman dahulu yang tinggal di wilayah Perdukuhan Sepatan untuk membatasi antara wilayah tuan tanah yang menguasai wilayah sebelah timur muara kali cisadane dengan wilayah yang dikuasai oleh pribumi di sebelah barat muara kali cisadane. 

Sehingga para tuan tanah dari etnis china tersebut tidak bisa menyebrang atau melewati batas wilayah yang dibuat tersebut. Sehingga tuan tanah – tuan tanah tidak bisa memperluas wilayahnya sampai ke wilayah Sepatan.

I. PENDUDUK

Berdasarkan laporan umum Komisi Inspeksi Kabupaten Jakarta dan Tanah Tinggi yang dibuat pada tanggal 29 Januari 1808 bahwa daerah Tangerang tidak memiliki penduduk asli.

Karena penduduk asli asal daerah Tangerang itu sendiri adalah orang – orang Banten yang beberapa kali melakukan penyerbuan ke Jayakarta.

Orang – orang Banten yang menetap di Tangerang ini, selanjutnya bercampur dengan orang – orang Jawa dan Sunda. Orang Jawa yang datang ke Tangerang adalah para pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten tahun 1526, dan kelompok – kelompok Kecil dari pasukan Mataram yang gagal mengepung kota Batavia pada tahun 1628 sampai dengan 1629.

Sedangkan orang Sunda yang datang ke Tanggerang, sebagian besar berasal dari Sumedang. Mereka datang ke Tangerang sekitar awal tahun 1630-an pasca pengepungan kota Batavia oleh pasukan Mataram. 

Orang Sunda lainnya, bisa jadi berasal dari daerah Jasinga dan Lebak. Karena kedua daerah tersebut pernah menjadi satu daerah administrasi pemerintahan, maka penduduk Tangerang pun menjadi bertambah dengan sejumlah etnis Jawa dan etnis Sunda.

Setelah penyerangan kota Batavia berakhir dengan kegagalan, sebagian pasukan Mataram dan juga pasukan Dipati Ukur tidak kembali ke daerah aslinya, tetapi memilih tinggal di Tangerang.

Penduduk Tangerang pun bertambah lagi dengan kedatangan orang Betawi. Menurut dugaan dan cerita, orang Betawi mulai masuk dan menetap di Tangerang sejak sebagian daerah Tangerang dikuasai oleh Kompeni Belanda sejak tahun 1659, dan Tangerang masuk ke dalam wilayah Batavia.

Adapula yang mengatakan, kedatangan orang – orang Betawi ke Tangerang diakibatkan oleh karena daerah Batavia terus – menerus dilanda banjir pada tahun 1680.

Semenjak Tangerang dikuasai Kompeni, maka penduduk Tangerang yang semula bersifat homogen, yakni hanya penduduk pribumi saja, kemudian berubah menjadi heterogen dengan keeradaan orang – orang China. 

Hal ini terjadi akibat tangerang menjadi tanah partikelir. Persil – persil tanah di wilayah Tangerang sebagian besar dikuasai oleh tuan – tuan tanah China.

Jumlah orang China yang tinggal di Tangerang semakin bertambah setelah terjadinya pemberontakan China di Batavia pada tahun 1740. 

Akibat peristiwa itu, Kompeni Belanda melarang orang – orang China tinggal di Batavia. Mereka di hanya diperbolehkan tinggal di daerah pinggiran kota Batavia. 

Oleh pihak Kompeni Belanda, mereka diharuskan tinggal secara berkelompok di sebuah kampung agar kegiatan mereka itu dapat diawasi oleh Kompeni Belanda dengan mudah.

II.SEJARAH DARI JAMAN KE JAMAN
A.JAMAN KERAJAAN TARUMANEGARA

Pada abad ke-5 Masehi, Tangerang pernah menjadi wilayah Kerajaan Tarumanegara, sebuah kerajaan paling tua di pulau Jawa yang dipimpin oleh Raja Purnawarman.

Ikwal riwayat Kerajaan Tarumanegara tersebut dapat ditelusuri dari tujuh prasasti yang masing masing ditemukan di daerah Bogor, Bekasi, Pandeglang dan Lebak. 

Ketujuh prasati itu adalah Prasasti Ciantuen, Prasasti Jambu, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Lebak, dan Prasasti Tugu.

Dari ketujuh prasasti itu, diketahui bahwa Tangerang yang letaknya ditengah – tengah daerah Bogor, Bekasi, dan Lebak adalah bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. 

Lokasi Ibu Kota Kerajaan Tarumanegara terletak dibagian sebelah timur Sungai Cisadane dengan batas sebelah timur Sungai Citarum.

Dalam naskah Pangeran Wangsakara yang disusun Danasasmita, disebutkan telah terjadi pemindahan Ibu Kota Kerajaan Tarumanegara, yang semula berada di Jasingawarman (Sekitar Kecamatan Jasinga, wilayah perbatasan antara Bogor dan Lebak), dipindahkan ke Sundapurabhaga di pesisir utara Bekasi.

Sedangkan mengenai muara Sungai Cisadane yang pernah menjadi tempat kegiatan perdagangan, dibuktikan dengan berita yang dicatat Tome Pires tahun 1513. 

Tome Pires adalah seorang Portugis yang melakukan perjalanan laut menyusuri pesisir di berbagai pulau di wilayah Nusantara sambil mengunjungi kota – kota pelabuhannya. Menurut Tome Pires, pada waktu itu Kerajaan Tarumanegara telah sirna, dan selanjutnya diganti oleh kerajaan Sunda.

Keenam kota pelabuhan yang masuk kedalam wilayah Kerajaan Sunda adalah Bantam (Banten), Pomdag (Pontang), Chegujde (Cikande), Tamgara (Tangerang), Calapa (Sunda Kelapa), dan Chemano (Cimanuk).

Keenam kota pelabuhan tersebut masing – masing terletak dari muara sungai Cibanten (untuk Kota Pelabuhan Banten), sungai Ciujung (untuk Kota Pelabuhan Pontang), sungai Cidurian (untuk Kota Pelabuhan Cikande), sungai Cisadane (untuk Kota Pelabuhan Tangerang), sungai Ciliwung (untuk Kota Pelabuhan Sunda Kelapa), dan sungai Cimanuk (untuk Kota Pelabuhan Cimanuk, Cirebon).

Pada masa itu, kegiatan perniagaan di enam kota pelabuhan itu meningkat tajam akibat jatuhnya kota pelabuhan besar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.

Hal itu telah menyebabkan para pedagang Muslim yang semula beramai – ramai mengunjungi Kota Pelabuhan Malaka yang merupakan pusat perniagaan terbesar di perairan Asia Tenggara, mengalihkan jalur perdagangannya ke pesisir barat Sumatera dan Selat Sunda.

JAMAN KESULTANAN BANTEN / JAMAN PENJAJAHAN KOMPENI BELANDA

Sejak Kesultanan Banten berdiri dan Jayakarta digabungkan dengan wilayah Kesultanan Banten, daerah Tangerang menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Banten. Daerah Tangerang yang dimaksud adalah daerah yang berada di sebelah barat dan timur aliran sungai Cisadane bagian hilir.

Sekitar tahun 1670-an antara Kesultanan Banten, Kerajaan Sumedang, dan Kesultanan Cirebon telah melakukan hubungan politik dan perdagangan. Sejalan dengan itu, akhir tahun 1680 terjadi pertemuan antara Sultan Banten dan Wakil dari Penguasa Kerajaan Sumedang dan Kesultanan Cirebon di sustu tempat yang bernama Pasanggrahan, yaitu kota pertama di daerah Tangerang pedalaman. 

Dalam pertemuan itu, disepakati kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah Kemaulanaan, dengan Ibukotanya Pesanggrahan.

Kekuasaan Kemaulanaan Tangerang itu, mencakup wilayah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Kemaulanaan Tangerang itu dipimpin oleh tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat. 

Mereka adalah Aria Yhudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Tigaraksa – yang artinya tiga pemimpin.
Meskipun telah terjadi perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni Belanda pada 17 April 1684, namun ketiga Tumenggung itu masih tetap melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda. 

Sayang usahanya gagal. Secara berturut – turut mereka gugur dalam pertempuran, Tumenggung Aria Santika gugur dalam sebuah pertempuran di Kebon Besar pada tahun 1717, jasadnya dimakamkan di Batuceper, Tangerang. 

Tahun 1718 Tumenggung Aria Yhudanegara gugur dalam pertempuran di Cikokol, jasadnya dimakamkan di Desa Sangiang, Tangerang. Dan tahu 1720 Tumenggung Aria Wasangkara gugur dalam pertempuran di Ciledug, dan jasadnya dimakamkan di Desa Lengkong.

Dengan gugurnya ketiga Tumenggung yang dikenal dengan sebutan Tigaraksa, maka pada tahun 1720 riwayat Kemaulanaan Tangerang pun berakhir sudah.

JAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN MILITER JEPANG

Pada tanggal 18 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda secara de facto telah berakhir. Selanjutnya, Indonesia memasuki babak baru yang berada dibawah kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang. Pemerintah Pendudukan Militer Jepang ini, membagi wilayah Indonesia menjadi tiga daerah, yaitu :

Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang berkuasa. 

Undang-undang ini menjadi landasan pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer.

Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk mem­bentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai gunseibu.

Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan gunseibu.

Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Ma­dura terdiri atas Gunsyreikan (Pemerintahan Pusat) yang membawahi Syucokan (Residen) dan dua Kotico (Kepala Daerah Istimewa). 

Syucokan membawahi Syico (Walikota) dan Kenco (Bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (Wedana), Sonco (Camat) dan Kuco (Kepala Desa).

Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta.

Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 Kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi Kabupaten. 

Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (Kota Praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas.

Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka diper­makloemkan seperti di bawah ini: 

Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. PAsal Usul Sejarah Kecamatan Sepatan, Asal Mula Nama Sepatan.

Secara bahasa SEPATAN berasal dari bahasa sangsakerta SUPATA yang artinya adalah berjanji atau berucap. Sedangka nama Sepatan untuk nama Kecamatan Sepatan sendiri berasal dari kata Sipatan yang berarti batas atau pembatas yaitu sebuah alat yang sering dipergunakan oleh tukang – tukang bangunan atau kayu untuk menggaris atau membuat tanda pada bangunan atau kayu.

Sementara itu menurut cerita tutur tinular dari orang tua jaman dahulu, Sepatan atau Sipatan merupakan “Pembatas Ghoib” yang dibuat oleh orang tua jaman dahulu yang tinggal di wilayah Perdukuhan Sepatan untuk membatasi antara wilayah tuan tanah yang menguasai wilayah sebelah timur muara kali cisadane dengan wilayah yang dikuasai oleh pribumi di sebelah barat muara kali cisadane.

Sehingga para tuan tanah dari etnis china tersebut tidak bisa menyebrang atau melewati batas wilayah yang dibuat tersebut. Sehingga tuan tanah – tuan tanah tidak bisa memperluas wilayahnya sampai ke wilayah Sepatan.

PENDUDUK

Berdasarkan laporan umum Komisi Inspeksi Kabupaten Jakarta dan Tanah Tinggi yang dibuat pada tanggal 29 Januari 1808 bahwa daerah Tangerang tidak memiliki penduduk asli. Karena penduduk asli asal daerah Tangerang itu sendiri adalah orang – orang Banten yang beberapa kali melakukan penyerbuan ke Jayakarta.

Orang – orang Banten yang menetap di Tangerang ini, selanjutnya bercampur dengan orang – orang Jawa dan Sunda. Orang Jawa yang datang ke Tangerang adalah para pengikut Fatahillah dari Demak yang menguasai Banten tahun 1526, dan kelompok – kelompok Kecil dari pasukan Mataram yang gagal mengepung kota Batavia pada tahun 1628 sampai dengan 1629.

Sedangkan orang Sunda yang datang ke Tanggerang, sebagian besar berasal dari Sumedang. Mereka datang ke Tangerang sekitar awal tahun 1630-an pasca pengepungan kota Batavia oleh pasukan Mataram.

Orang Sunda lainnya, bisa jadi berasal dari daerah Jasinga dan Lebak. Karena kedua daerah tersebut pernah menjadi satu daerah administrasi pemerintahan, maka penduduk Tangerang pun menjadi bertambah dengan sejumlah etnis Jawa dan etnis Sunda.

Setelah penyerangan kota Batavia berakhir dengan kegagalan, sebagian pasukan Mataram dan juga pasukan Dipati Ukur tidak kembali ke daerah aslinya, tetapi memilih tinggal di Tangerang.

Penduduk Tangerang pun bertambah lagi dengan kedatangan orang Betawi. Menurut dugaan dan cerita, orang Betawi mulai masuk dan menetap di Tangerang sejak sebagian daerah Tangerang dikuasai oleh Kompeni Belanda sejak tahun 1659, dan Tangerang masuk ke dalam wilayah Batavia.

Adapula yang mengatakan, kedatangan orang – orang Betawi ke Tangerang diakibatkan oleh karena daerah Batavia terus – menerus dilanda banjir pada tahun 1680.

Semenjak Tangerang dikuasai Kompeni, maka penduduk Tangerang yang semula bersifat homogen, yakni hanya penduduk pribumi saja, kemudian berubah menjadi heterogen dengan keeradaan orang – orang China.

Hal ini terjadi akibat tangerang menjadi tanah partikelir. Persil – persil tanah di wilayah Tangerang sebagian besar dikuasai oleh tuan – tuan tanah China.

Jumlah orang China yang tinggal di Tangerang semakin bertambah setelah terjadinya pemberontakan China di Batavia pada tahun 1740.

Akibat peristiwa itu, Kompeni Belanda melarang orang – orang China tinggal di Batavia. Mereka di hanya diperbolehkan tinggal di daerah pinggiran kota Batavia.

Oleh pihak Kompeni Belanda, mereka diharuskan tinggal secara berkelompok di sebuah kampung agar kegiatan mereka itu dapat diawasi oleh Kompeni Belanda dengan mudah.

SEJARAH DARI JAMAN KE JAMAN
A.JAMAN KERAJAAN TARUMANEGARA


Pada abad ke-5 Masehi, Tangerang pernah menjadi wilayah Kerajaan Tarumanegara, sebuah kerajaan paling tua di pulau Jawa yang dipimpin oleh Raja Purnawarman.

Ikwal riwayat Kerajaan Tarumanegara tersebut dapat ditelusuri dari tujuh prasasti yang masing masing ditemukan di daerah Bogor, Bekasi, Pandeglang dan Lebak. Ketujuh prasati itu adalah Prasasti Ciantuen, Prasasti Jambu, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Awi, Prasasti Muara Cianteun, Prasasti Lebak, dan Prasasti Tugu.

Dari ketujuh prasasti itu, diketahui bahwa Tangerang yang letaknya ditengah – tengah daerah Bogor, Bekasi, dan Lebak adalah bagian dari wilayah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Lokasi Ibu Kota Kerajaan Tarumanegara terletak dibagian sebelah timur Sungai Cisadane dengan batas sebelah timur Sungai Citarum.

Dalam naskah Pangeran Wangsakara yang disusun Danasasmita, disebutkan telah terjadi pemindahan Ibu Kota Kerajaan Tarumanegara, yang semula berada di Jasingawarman (Sekitar Kecamatan Jasinga, wilayah perbatasan antara Bogor dan Lebak), dipindahkan ke Sundapurabhaga di pesisir utara Bekasi.

Sedangkan mengenai muara Sungai Cisadane yang pernah menjadi tempat kegiatan perdagangan, dibuktikan dengan berita yang dicatat Tome Pires tahun 1513.

Tome Pires adalah seorang Portugis yang melakukan perjalanan laut menyusuri pesisir di berbagai pulau di wilayah Nusantara sambil mengunjungi kota – kota pelabuhannya.

Menurut Tome Pires, pada waktu itu Kerajaan Tarumanegara telah sirna, dan selanjutnya diganti oleh kerajaan Sunda.

Keenam kota pelabuhan yang masuk kedalam wilayah Kerajaan Sunda adalah Bantam (Banten), Pomdag (Pontang), Chegujde (Cikande), Tamgara (Tangerang), Calapa (Sunda Kelapa), dan Chemano (Cimanuk).

Keenam kota pelabuhan tersebut masing – masing terletak dari muara sungai Cibanten (untuk Kota Pelabuhan Banten), sungai Ciujung (untuk Kota Pelabuhan Pontang), sungai Cidurian (untuk Kota Pelabuhan Cikande), sungai Cisadane (untuk Kota Pelabuhan Tangerang), sungai Ciliwung (untuk Kota Pelabuhan Sunda Kelapa), dan sungai Cimanuk (untuk Kota Pelabuhan Cimanuk, Cirebon).

Pada masa itu, kegiatan perniagaan di enam kota pelabuhan itu meningkat tajam akibat jatuhnya kota pelabuhan besar Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Hal itu telah menyebabkan para pedagang Muslim yang semula beramai – ramai mengunjungi Kota Pelabuhan Malaka yang merupakan pusat perniagaan terbesar di perairan Asia Tenggara, mengalihkan jalur perdagangannya ke esisir barat Sumatera dan Selat Sunda.

JAMAN KESULTANAN BANTEN / JAMAN PENJAJAHAN KOMPENI BELANDA

Sejak Kesultanan Banten berdiri dan Jayakarta digabungkan dengan wilayah Kesultanan Banten, daerah Tangerang menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Banten. Daerah Tangerang yang dimaksud adalah daerah yang berada di sebelah barat dan timur aliran sungai Cisadane bagian hilir.

Sekitar tahun 1670-an antara Kesultanan Banten, Kerajaan Sumedang, dan Kesultanan Cirebon telah melakukan hubungan politik dan perdagangan.

Sejalan dengan itu, akhir tahun 1680 terjadi pertemuan antara Sultan Banten dan Wakil dari Penguasa Kerajaan Sumedang dan Kesultanan Cirebon di sustu tempat yang bernama Pasanggrahan, yaitu kota pertama di daerah Tangerang pedalaman.

Dalam pertemuan itu, disepakati kedudukan Tangerang dalam struktur pemerintahan Kesultanan Banten adalah Kemaulanaan, dengan Ibukotanya Pesanggrahan.

Kekuasaan Kemaulanaan Tangerang itu, mencakup wilayah Tangerang, Jasinga, dan Lebak. Kemaulanaan Tangerang itu dipimpin oleh tiga orang Tumenggung yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat.

Mereka adalah Aria Yhudanegara, Aria Wangsakara, dan Aria Santika, yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Tigaraksa – yang artinya tiga pemimpin.

Meskipun telah terjadi perjanjian antara Sultan Haji dengan Kompeni Belanda pada 17 April 1684, namun ketiga Tumenggung itu masih tetap melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda.

Sayang usahanya gagal. Secara berturut – turut mereka gugur dalam pertempuran, Tumenggung Aria Santika gugur dalam sebuah pertempuran di Kebon Besar pada tahun 1717, jasadnya dimakamkan di Batuceper, Tangerang. Tahun 1718 Tumenggung Aria Yhudanegara gugur dalam pertempuran di Cikokol, jasadnya dimakamkan di Desa Sangiang, Tangerang. Dan tahu 1720 Tumenggung Aria Wasangkara gugur dalam pertempuran di Ciledug, dan jasadnya dimakamkan di Desa Lengkong.

Dengan gugurnya ketiga Tumenggung yang dikenal dengan sebutan Tigaraksa, maka pada tahun 1720 riwayat Kemaulanaan Tangerang pun berakhir sudah.

JAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN MILITER JEPANG

Pada tanggal 18 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda secara de facto telah berakhir. Selanjutnya, Indonesia memasuki babak baru yang berada dibawah kekuasaan Pemerintah Pendudukan Militer Jepang.

Pemerintah Pendudukan Militer Jepang ini, membagi wilayah Indonesia menjadi tiga daerah, yaitu :

Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan didasarkan pada Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang berkuasa.

Undang-undang ini menjadi landasan pelaksanaan tata Negara yang azas pemerintahannya militer.

Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi tugas untuk mem­bentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian diangkat sebagai gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus 1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri keberadaan gunseibu.

Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di Jawa dan Ma­dura terdiri atas Gunsyreikan (Pemerintahan Pusat) yang membawahi Syucokan (Residen) dan dua Kotico (Kepala Daerah Istimewa). Syucokan membawahi Syico (Walikota) dan Kenco (Bupati). Secara hirarkis, pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (Wedana), Sonco (Camat) dan Kuco (Kepala Desa).

Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi Jakarta.

Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan, dari 18 menjadi 19 Kabupaten.

Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi Kabupaten.

Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,kota Jakarta ditetapkan sebagai Tokubetsusi (Kota Praja), dan kedua, pemerintah Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang wilayahnya luas.

Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9 November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9 boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka diper­makloemkan seperti di bawah ini:

Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang, Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken.

Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.

Sejalan dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang. (1943-1944).

JAMAN REVOLUSI

Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong Komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Kabupaten Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.

Mereka membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI, membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam memakai ubel-ubel (ikat kepala).

Laskar Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan.

Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.

JAMAN KEMERDEKAAN ( AGRESI MILITER BELANDA II )

Pada Tanggal 19 September 1947, menjelang dinihari, pasukan Sekutu yang di dalamnya terdapat tentara NICA ( tentara Belanda ) melancarkan melancarkan serangan kewilayah Kampung Melayu, Teluknaga.

Serangan itu terus berkobar hingga pukul satu siang. Setelah menguasai Kampung Melayu, pasukan Belanda melebarkan serangannya ke Kampung Sepatan dan Sangiang.

Dalam waktu singkat, mereka telah menguasai dan menduduki Kampung Jatigintung.

Di Jatigintung, pasukan tentara Belanda mengibarkan bendera warna merah.

Sejumlah pemuda dan ratusan rakyat yang ikut berjuang dibunuh dengan cara yang amat keji.

Diantara mereka, bahkan ada yang digilas tank hingga tubuhnya hancur remuk. Ketika pasukan tentara Belanda meninggalkan Jatigintung sejumlah ternak dan hewan peliharaan milik penduduk diangkut paksa dengan truk.

Disana pasukan Belanda melebarkan serangannya kewilayah mauk dan tegalkunir. Namun berkat perlawanan gigih dari pasukan Republik, wilayah Mauk dan Tegalkunir dapat direbut kembali.

Tanggal 2 Oktober 1947, terjadi pertempuran hebat. Dengan kekuatan 13 truk dan 4 tank Belanda menyerbu Curug. Disana, mereka mendirikan Mahkamah Militer, lalu menangkapi dan menghukum rakyat yang tidak bersalah.

Setelah melalui pertempuran yang sangat sengit selama beberapa hari, maka pada tanggal 11 Oktober 1947 pasukan Belanda berhasil menguasai beberapa tempat di wilayah Tangerang. Dalam pertempuran itu, Belanda mengerahkan seribu prajurit dengan dukungan peralatan perang yang modern pada waktu itu, yang didukung dengan melancarkan tembakan – tembakan dari udara.

Ketika pasukan Belanda melancarkan serangannya ke wilayah Tangerang, pada waktu yang bersamaan, tepatnya tanggal 9 Desember  1947, sejumlah tentara Belanda menyerbu Desa Rawagede, di Karawang, Jawa Barat.

Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan menimbang serta memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah dan semakin meningkatnya beban tugas serta volume kerja dibidan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Dengan maksud untuk mendorong peningkatan pelayanan bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta kemajuan dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang ada di wilayah Kecamatan Sepatan.

Maka Kecamatan Sepatan dimekarkan dengan membentuk Kecamatan baru, yaitu :

A.Kecamatan Pakuhaji

Kecamatan Pakuhaji merupakan hasil dari pemekaran Kecamatan Sepatan dengan luas wilayah administratif 1.687 Ha.

Kecamatan Pakuhaji dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1992, dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat di Kabupaten Tangerang pada tanggal 28 September 1992.

Desa / Kelurahan yang tergabung dalam Kecamatan Pakuhaji adalah Kelurahan Pakuhaji, Desa Pakualam, Desa Buaran Mangga, Desa Buaran Bambu, Desa Buni Sari, Desa Rawa Boni, Desa Laksana, Desa Kohod, Desa Sukawali, Desa Kramat, Desa Surya Bahari, Desa Kiara Payung, Desa Gaga, dan Desa Kalibaru.

B.Kecamatan Sepatan Timur

Kecamatan Sepatan Timur adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Sepatan Wilayahnya yang berdekatan dengan Bandar Udara Internasional Sukarno - Hatta dan Provinsi DKI Jakarta. Kecamatan Sepatan Timur dbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 20 Tahun 2006.

Desa / Kelurahan yang tergabung dalam Kecamatan Sepatan Timur adalah Desa Sangiang, Desa Tanah Merah, Desa Lebak Wangi, Desa Jatimulya, Desa Kedaung Barat dan Desa Gempolsari.

Pasal 2: Nama Djakarta Ken diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini dimulai diberlakukan tanggal27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta Syuutyookan.

Sejalan dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).

D.JAMAN REVOLUSI

Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong Komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan pemerintah Republik Indonesia di Kabupaten Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.

Mereka membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI, membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam memakai ubel-ubel (ikat kepala).

Laskar Ubel-Ubel melakukan aksi teror dengan membunuh merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti Mauk, Kronjo, Kresek, Sepatan.

Pada 12 Desember 1945, dibawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan, termasuk membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk. 

JAMAN KEMERDEKAAN ( AGRESI MILITER BELANDA II )

Pada Tanggal 19 September 1947, menjelang dinihari, pasukan Sekutu yang di dalamnya terdapat tentara NICA ( tentara Belanda ) melancarkan melancarkan serangan kewilayah Kampung Melayu, Teluknaga.

Serangan itu terus berkobar hingga pukul satu siang. Setelah menguasai Kampung Melayu, pasukan Belanda melebarkan serangannya ke Kampung Sepatan dan Sangiang. Dalam waktu singkat, mereka telah menguasai dan menduduki Kampung Jatigintung.

Di Jatigintung, pasukan tentara Belanda mengibarkan bendera warna merah.

Sejumlah pemuda dan ratusan rakyat yang ikut berjuang dibunuh dengan cara yang amat keji. 

Diantara mereka, bahkan ada yang digilas tank hingga tubuhnya hancur remuk. Ketika pasukan tentara Belanda meninggalkan Jatigintung sejumlah ternak dan hewan peliharaan milik penduduk diangkut paksa dengan truk.

Disana pasukan Belanda melebarkan serangannya kewilayah mauk dan tegalkunir. Namun berkat perlawanan gigih dari pasukan Republik, wilayah Mauk dan Tegalkunir dapat direbut kembali. 

Tanggal 2 Oktober 1947, terjadi pertempuran hebat. Dengan kekuatan 13 truk dan 4 tank Belanda menyerbu Curug. Disana, mereka mendirikan Mahkamah Militer, lalu menangkapi dan menghukum rakyat yang tidak bersalah.

Setelah melalui pertempuran yang sangat sengit selama beberapa hari, maka pada tanggal 11 Oktober 1947 pasukan Belanda berhasil menguasai beberapa tempat di wilayah Tangerang. 

Dalam pertempuran itu, Belanda mengerahkan seribu prajurit dengan dukungan peralatan perang yang modern pada waktu itu, yang didukung dengan melancarkan tembakan – tembakan dari udara.

Ketika pasukan Belanda melancarkan serangannya ke wilayah Tangerang, pada waktu yang bersamaan, tepatnya tanggal 9 Desember  1947, sejumlah tentara Belanda menyerbu Desa Rawagede, di Karawang, Jawa Barat.


Pemerintah Kabupaten Tangerang dengan menimbang serta memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah dan semakin meningkatnya beban tugas serta volume kerja dibidan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan maksud untuk mendorong peningkatan pelayanan bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta kemajuan dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang ada di wilayah Kecamatan Sepatan. 

Maka Kecamatan Sepatan dimekarkan dengan membentuk Kecamatan baru, yaitu :

A.Kecamatan Pakuhaji

Kecamatan Pakuhaji merupakan hasil dari pemekaran Kecamatan Sepatan dengan luas wilayah administratif 1.687 Ha. 

Kecamatan Pakuhaji dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1992, dan diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat di Kabupaten Tangerang pada tanggal 28 September 1992.

Desa / Kelurahan yang tergabung dalam Kecamatan Pakuhaji adalah Kelurahan Pakuhaji, Desa Pakualam, Desa Buaran Mangga, Desa Buaran Bambu, Desa Buni Sari, Desa Rawa Boni, Desa Laksana, Desa Kohod, Desa Sukawali, Desa Kramat, Desa Surya Bahari, Desa Kiara Payung, Desa Gaga, dan Desa Kalibaru.

B.Kecamatan Sepatan Timur

Kecamatan Sepatan Timur adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Sepatan Wilayahnya yang berdekatan dengan Bandar Udara Internasional Sukarno - Hatta dan Provinsi DKI Jakarta.

Kecamatan Sepatan Timur dbentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 20 Tahun 2006. Desa / Kelurahan yang tergabung dalam Kecamatan Sepatan Timur adalah Desa Sangiang, Desa Tanah Merah, Desa Lebak Wangi, Desa Jatimulya, Desa Kedaung Barat dan Desa Gempolsari.***


×
Berita Terbaru Update